Sabtu, 18 Oktober 2014


terhenti di detak jarum jam
detik berketuk
kala fikir terombang
rasa kalut terpercik bimbang

                bersembunyi di dalam raguku
                entah mengapa suasana membiru
                lantunan sayup sepi keras bergemuru
                sadar kau dan hari kala itu bertamu

akankah waktu itu dapat ku kunjungi ?,
saat berbalas risau dalam diri
layakkah harapku berkesempatan ?,
saat keyakinan sudah bermetamorfosis sebagai penyesalan…

                Berada dalam bumi genggaman Tuhanmu.  Berpijak di harta sang Penciptamu. Haturkan ribu harap untuk sang Maha Kuasamu. Bertutur doa ucap hati kepada Sang Pengasihmu.
                Patutkah penyesalan dipertanyakan ? Pun jauh melontarkan tanya penyesalan yang bersinggah belakangan ? Manusiawikah kita mengabaikan saat pantas tak pantas tersekat waktu patut dipertanyakan…
                Menjelang petang berkamuflaselah diriku menjadi sosok yang baru. Bukan pribadiku, bukan sifatku, bukan pula identitasku. Berbekal kata dan peka. Bertameng rasa semu lalu aku ketuk hati dan emosionalku. Mencari percakapan yang terjadi malam itu, kemudian aku pangku laptop hitamku. Menyusun bantal bak orang dewasa yang hendak beristirahat sambil membaca buku, sampai tergerak tangan untuk unggah lagu yang membantu menuntunku masuk ke dalam dunia itu. Aku ubah suasana ruang istirahat ini menjadi panggung pentas drama kataku.
                Saat fikirku berjalan, tak sedikitpun perasan aku gunakan. Tak tahu, kenapa bisa aku hiraukan…

Sampailah dimana aku bertemu dengan jiwa yang baru itu. Bercerita kata yang ku baca pada emosional ku. Sosok yang baru telah diperankan, hingga ia sampaikan bagaimana rasa itu tiba.

Bercerita kita, bersuka cita, dan tertawa bersama. Kala itu masih ku kenal kau sebagai teman baruku.  beriring rotasi dan revolusi bumi, yang aku tahu temanku yakni telah dipatenkan sendiri olehku menjadi sahabatku, lalu mengapa berputar pula rasamu.  Kau ciptakan percakapan yang dengan cepat aku alihkan, dan tak seharusnya aku hiraukan. Bukan tanpa alasan, melainkan ada seseorang yang lebih dahulu bercengkraman. Mungkin, kau mengurungkan niat agar kau tak merasakan jauh lebih dalam bagaimana rasanya dikecewakan. Terlebih lagi kau menanti hingga akhirnya kesempatan itu kembali, membangun puing harapan lalu-mu hingga kau masih bersedia untuk aku kecewakan, lagi.
Rotasi dan revolusi bumi masih terjadi, hingga sebab akibatpun aku pahami. Saat semua baru aku sadari, kau yang pernah dikecewakan, membuatku memilih untuk lebih diyakinkan.
Tiba dimana kebimbanganku tak tahu harus ku tuntun kemana. Gelisah aku bercerita kepada mereka berdua. Hingga aku tak tahu meluapkan ini kemana lagi, dan aku gencar mencari. Mencari rasa yang dulu aku abaikan, dimana aku tak tahu persimpangan mana yang engkau temukan saat aku mulai sedikit untuk mengharapkan. Namun segera saat ku hendak bertahan, aku terpaksa melontarkan senyuman.
Senyum yang menyegerakan kita untuk berteman atas jawaban dari semua keraguan.

nafasku terhela ketika aku bangun dari diri yang baru.berharap diri yang sudah aku masuki menjadi pribadi yang lebih menghargai. 
dedicated for D. posted for E.


Saat engkau diragukan, maka engkau diminta segera
untuk mendekatkan diri dan berharap kepada Tuhan.

Jumat, 03 Oktober 2014


Allah Swt. mengawasi perjalanan seorang hamba yang menuju kepada-Nya secara terus menerus, memenuhi hati dengan keagungan Allah Swt., mendekat kepada Allah Swt. sambil membawa beban dan pembangkit kesenangan.  Jika hati sudah diisi keagungan Allah Swt., ia akan mengesampingkan pengagungan terhadap selain-Nya dan tidak mau berpaling kepadanya.
Pengagungan ini tidak akan terlupakan jika hati bersama Allah Swt., disamping juga mendatangkan cinta.  Setiap cinta yang tidak disertai pengagungan terhadap kekasih, menjadi sebab yang menjauhkanya dari kekasih.
Dalam derajad ini mengandung lima perkara: Perjalanan kepada Allah Swt., kelanjutan perjalanan ini, hati yang bersama Allah Swt., pengagungan-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Jika sudah ada kedekatan hati dengan Allah Swt., maka akan menghasilkan kesenangan dan kenikmatan yang tidak bisa diserupakan dengan kesenangan di dunia dan tidak dapat dibandingkan karena ini merupakan salah satu keadaan dari para penghuni surga.  Di antara orang yang memiliki pengetahuan berkata, “Pada saat tertentu dapatku katakan, ‘Sekiranya para penghuni surge seperti keadaan saat ini, tentu mereka dalam kehidupan yang sangat menyenangkan.”  Tidak dapat diragukan bahwa kesengan dan kenikamatan inilah yang membangkitkannya untuk terus mengadakan perjalan menuju Allah Swt., berusaha, dan mencari keridhaan-Nya.  Siapa yang tidak merasakan kesengan dan kenikmatan ini, atau sebagian di antaranya, maka hendaklah mereka mencurigai iman dan amalnya, karena iman itu mempunyai kemanisan.  Siapa yang tidak merasakan manisnya iman, hendakalah kembali untuk mencarinya dengan mencari cahaya agar dapat mendatangkan manisnya iman.  Nabi Saw. telah menyebutkan rasa iman dan cara mendapatkan manisnya iman.  Rasa ini dikaitkan dengan sabda beliau, “Yang dapat menikamati rasa iman adalah yang ridha kepada Allah Swt. sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad Saw. sebagai rasul.”
Beliau Saw. juga bersabda, “Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya maka dia kan merasakan manisnya iman, yaitu siapa yang Allah Swt. dan Rasul-Nya yang lebih dia cintai dari selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang yang dia mencintainya hanya karena Allah Swt., dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah Swt. menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka.”
Syaikhu’l Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika engkau tidak mendapatkan kemanisan dan kesenangan dari suatu amal dari hatimu, maka curigailah ia, karena Allah Swt. adalah penerima rasa syukur.  Artinya, Allah Swt. pasti akan memberi pahala kepada seseorang di dunia karena amalnya, berupa kesenangan dan kegembiraan.  Jika ia tidak merasakannya, berarti amal itu disusupi syaitan.” (Ibnu’l Qayyim Al-Jauzziya, Madariju AS-Salikin Manazilu Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inu, Juz 2, t.t.: 69-70).


Barangsiapa yang benar dalam Tawakalnya kepada Allah Swt. untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan  mendapatkannya.  Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah Swt., dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah Swt., apa yang diperolehnya itu akan membahayakan dirinya.  Jika seseuatu yang diingikannya itu mubah, dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya. (Ibnu’l Qayyim Al-Jauzziya, Madariju AS-Salikin Manazilu Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inu, Juz 2, t.t.: 118-119).


(Al-Qur'an Cordoba 'the Amazing' hal:260.  Perjalanan Menuju Allah)