Allah Swt. mengawasi perjalanan
seorang hamba yang menuju kepada-Nya secara terus menerus, memenuhi hati dengan
keagungan Allah Swt., mendekat kepada Allah Swt. sambil membawa beban dan
pembangkit kesenangan. Jika hati sudah
diisi keagungan Allah Swt., ia akan mengesampingkan pengagungan terhadap
selain-Nya dan tidak mau berpaling kepadanya.
Pengagungan ini tidak akan
terlupakan jika hati bersama Allah Swt., disamping juga mendatangkan
cinta. Setiap cinta yang tidak disertai
pengagungan terhadap kekasih, menjadi sebab yang menjauhkanya dari kekasih.
Dalam derajad ini mengandung lima
perkara: Perjalanan kepada Allah Swt., kelanjutan perjalanan ini, hati yang
bersama Allah Swt., pengagungan-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Jika sudah ada kedekatan hati
dengan Allah Swt., maka akan menghasilkan kesenangan dan kenikmatan yang tidak bisa
diserupakan dengan kesenangan di dunia dan tidak dapat dibandingkan karena ini
merupakan salah satu keadaan dari para penghuni surga. Di antara orang yang memiliki pengetahuan berkata,
“Pada saat tertentu dapatku katakan, ‘Sekiranya para penghuni surge seperti
keadaan saat ini, tentu mereka dalam kehidupan yang sangat menyenangkan.” Tidak dapat diragukan bahwa kesengan dan
kenikamatan inilah yang membangkitkannya untuk terus mengadakan perjalan menuju
Allah Swt., berusaha, dan mencari keridhaan-Nya. Siapa yang tidak merasakan kesengan dan
kenikmatan ini, atau sebagian di antaranya, maka hendaklah mereka mencurigai
iman dan amalnya, karena iman itu mempunyai kemanisan. Siapa yang tidak merasakan manisnya iman,
hendakalah kembali untuk mencarinya dengan mencari cahaya agar dapat
mendatangkan manisnya iman. Nabi Saw. telah
menyebutkan rasa iman dan cara mendapatkan manisnya iman. Rasa ini dikaitkan dengan sabda beliau, “Yang
dapat menikamati rasa iman adalah yang ridha kepada Allah Swt. sebagai Rabb,
kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad Saw. sebagai rasul.”
Beliau Saw. juga bersabda, “Tiga
perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya maka dia kan merasakan
manisnya iman, yaitu siapa yang Allah Swt. dan Rasul-Nya yang lebih dia cintai
dari selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang yang dia mencintainya
hanya karena Allah Swt., dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran
setelah Allah Swt. menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak
suka dilemparkan ke neraka.”
Syaikhu’l Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Jika engkau tidak mendapatkan kemanisan dan kesenangan dari suatu
amal dari hatimu, maka curigailah ia, karena Allah Swt. adalah penerima rasa
syukur. Artinya, Allah Swt. pasti akan memberi
pahala kepada seseorang di dunia karena amalnya, berupa kesenangan dan
kegembiraan. Jika ia tidak merasakannya,
berarti amal itu disusupi syaitan.” (Ibnu’l Qayyim Al-Jauzziya, Madariju
AS-Salikin Manazilu Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inu, Juz 2, t.t.: 69-70).
Barangsiapa yang benar dalam Tawakalnya kepada Allah Swt. untuk
mendapatkan sesuatu, tentu dia akan
mendapatkannya. Jika sesuatu yang
diinginkannya dicintai dan diridhai Allah Swt., dia akan mendapatkan kesudahan
yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah Swt., apa yang
diperolehnya itu akan membahayakan dirinya.
Jika seseuatu yang diingikannya itu mubah, dia mendapatkan kemaslahatan
dirinya dan bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan
untuk ketaatan kepada-Nya. (Ibnu’l Qayyim Al-Jauzziya, Madariju AS-Salikin
Manazilu Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inu, Juz 2, t.t.: 118-119).
(Al-Qur'an Cordoba 'the Amazing' hal:260. Perjalanan Menuju Allah)